Bahwa ada ruang yang hilang dalam proses pendidikan membelajarkan berbahasa di PAUD dan SD.
Di saat kita menemukan maraknya malpraktik pendidikan, khususnya anak PAUD diajarkan
membaca menulis, masuk SD dites membaca dan menulis dengan cara-cara yang tidak patut sesuai
dengan tumbuh kembang mereka sebagai belia. Meskipun membaca-menulis permulaan sudah
dimulai dini, namun tragisnya kemampuan membaca anak Indonesia berada pada urutan kedua
dari bawah. United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), pada
tahun 2012 melaporkan, indeks minat membaca masyarakat Indonesia baru mencapai angka
0,001.Artinya, dari setiap 1.000 orang Indonesia hanya ada 1 orang saja yang punya minat baca.
Indonesia sebagai masyarakat yang memiliki keberagaman bahasa seperti yang diamanatkan dalam
Sumpah Pemuda butir ketiga (3) menyatakan, “menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia
yang memiliki makna pengakuan terhadap keberadaan ratusan bahasa daerah yang memiliki hak
hidup dan peluang penggunaan bahasa asing sesuai dengan keperluannya”.
Indonesia memiliki bahasa Ibu (mother tongue) populasi terbesar kedua di dunia setelah Papua New
Guinea. Artinya, bahwa nenek moyang
Indonesia merupakan penutur andal di dunia. Budaya
bertutur, adalah cara berkomunikasi secara kelisanan yang diturun-temurunkan dari nenek
moyang kita melalui bahasa Ibu (mother language) dan terjadi di berbagai wilayah di Indonesia
dalam membangun aktivitas “PERIKEHIDUPAN” di masyarakatnya. Ini dibuktikan dengan
beragam cerita rakyat (folklore), seni bertutur (verbal arts) yang terdapat hampir di seluruh suku
bangsa Indonesia. Bukti lainnya yang menguatkan bahwa nenek moyang kita sebagai penutur
andal adalah dengan ditemukannya hanya beberapa aksara pada suku-suku tertentu seperti Aceh,
Batak, Kerinci, Lampung, Jawa, Sunda, Bali, Lontara. Aksara itu pun diturun temurunkan secara
manual ditulis tangan di atas media daun, kayu, batu, dan kertas. Media cetak tidak berkembang
secara modern. Hal itu semakin menguatkan kita untuk merubah cara melaksanakan pendekatan
pembelajaran berbahasa di usia dini mulai jenjang PAUD hingga SD kelas 3 harus mengacu
kepada kehidupan budaya nenek moyang sebagai bangsa penutur, melalui bahasa Ibu (mother
tongue) dengan mendongeng, membacakan buku cerita, bernyanyi dan sebagainya. Sementara
proses pembelajaran yang terjadi di PAUD dan SD merenggut budaya bertutur dalamm
mengalirkan pesan budaya terkait persepsi, memori, histori sebagai bangsa penutur diganti
dengan kegiatan membaca, menulis, dan mengerjakan tugas-tugas LK (paper and pencils). Kosakata yang diperoleh anak dalam pengalamannya sebagai anak yang unik, multikultur,
multilbahasa, terlenyapkan oleh penggunaan bahasa Indonesia melalui Membaca Menulis
Permulaan, dan itu sudah dimulai dari jenjang PAUD dan SD.
Selanjutnya, UU no 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu
kebangsaan, khususnya pasal 26 sampai dengan 39 tentang aturan penggunaan Bahasa
Indonesia; pasal 40, 41,42 mengenai pengembangan, pembinaan dan pelindungan Bahasa
Indonesi; Pasal 43, pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah; Pasal 44
tentang peningkatan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional; Pasal 45 tentang
Tugas Fungsi Lembaga Kebahasaan di Indonesia menjadi semakin luas, dan kuat mengakar di
dalam proses pembelajaran Bahasa di Satuan pendidikan di sekolah dasar. Akan tetapi yang
terjadi sebaliknya, minat baca anak di sekolah dasar tidak tumbuh dengan baik sesuai dengan
harapan kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman kekayaan bahasa dan
budaya. Sementara hiruk pikuk berbahasa di ruang publik tidak mencerminkan nilai-nilai luhur
yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Gempuran teknologi, melahirkan pula
masyarakat yang kesepian. Kehidupan bermasyarakat yang dibentuk dari budaya kelisanan
dengan bertutur, sekarang telah diselesaikan dengan cara kehidupan modern yang banyak
melahirkan manusia-manusia depresi.
Pendaftaran BIMTES IMPP jakarta 2016 Dibuka!